Adaptasi Kesehatan Mata dari Ancaman Layar Digital
6 jam lalu
Solusi sederhana tetapi efektif harus menjadi bagian dari rutinitas harian, misalnya,
***
Wacana ini ditulis oleh Naura Aqilah Rizal, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Dalam sebuah wawancara dengan beberapa pengguna gadget dari berbagai usia, muncul satu kesadaran yang mengejutkan: banyak orang sama sekali tidak menyadari seberapa besar ketergantungan mereka pada layar digital telah memengaruhi kesehatan mata. Sebagian besar responden mengaku menghabiskan lebih dari delapan jam setiap hari menatap layar komputer, tablet, atau ponsel pintar.
Mereka juga menyadari bahwa meskipun teknologi menawarkan kemudahan luar biasa dalam bekerja, belajar, dan berinteraksi sosial, konsekuensi jangka panjang terhadap mata sering terabaikan. Pertanyaan kritis pun muncul: apakah kita rela mengorbankan kesehatan mata demi mengikuti arus digital yang semakin deras?
Tidak mungkin menolak kemajuan teknologi yang begitu cepat, tetapi kita dapat belajar mengelola dampak negatifnya dengan bijak. Salah satu masalah yang paling sering muncul adalah Computer Vision Syndrome atau Digital Eye Strain. Gejala yang muncul meliputi kelelahan mata, kekeringan, penglihatan kabur, sakit kepala, hingga nyeri leher dan bahu. Gejala ini bukan sekadar ketidaknyamanan ringan, melainkan alarm biologis yang menandakan mata sedang bekerja di luar kapasitas idealnya.
Paparan cahaya biru dari layar LED dan LCD, ditambah kebiasaan menatap layar dari jarak dekat tanpa jeda, menjadi faktor utama. Mata jarang berkedip sehingga menjadi kering dan mudah iritasi. Penelitian oftalmologi bahkan menunjukkan bahwa paparan cahaya biru dalam jangka panjang berpotensi merusak sel retina dan meningkatkan risiko degenerasi makula, penyebab utama kebutaan pada usia lanjut.
Pendidikan dan kesadaran sejak dini memainkan peran penting dalam pencegahan. Anak-anak yang terpapar gadget sebelum mengenal huruf sering menghabiskan waktu berjam-jam bermain game atau menonton video. Tanpa pengawasan yang tepat, kebiasaan ini dapat memicu miopia atau memperburuk kondisi yang sudah ada. Oleh karena itu, peran orang tua dan guru sangat penting untuk membatasi durasi penggunaan layar dan mendorong aktivitas di luar ruangan yang terbukti bermanfaat bagi perkembangan penglihatan.
Orang dewasa pun tidak luput dari risiko, terutama mereka yang bekerja lama di depan komputer. Solusi sederhana tetapi efektif harus menjadi bagian dari rutinitas harian. Misalnya, aturan 20-20-20: setiap 20 menit menatap layar, alihkan pandangan ke objek sejauh 20 kaki atau sekitar 6 meter selama 20 detik. Praktik ini terbukti membantu mengurangi ketegangan mata. Selain itu, pencahayaan yang memadai, posisi layar sejajar dengan mata, dan jarak pandang ideal sekitar 50 hingga 70 cm juga sangat krusial.
Inovasi teknologi menyediakan opsi tambahan untuk mengurangi risiko. Mode night shift atau filter cahaya biru pada perangkat digital dapat mengurangi paparan sinar berbahaya. Kacamata dengan lensa anti-radiasi atau filter cahaya biru menjadi pilihan preventif yang populer. Namun efektivitas setiap produk berbeda, sehingga konsultasi dengan ahli mata sangat disarankan sebelum penggunaan.
Gaya hidup sehat turut mendukung kesehatan mata. Asupan nutrisi yang kaya vitamin A, C, E, dan mineral seperti zinc bermanfaat untuk menjaga fungsi visual dari dalam. Wortel, bayam, jeruk, kacang-kacangan, dan ikan salmon adalah contoh makanan yang disarankan. Tidur yang cukup juga tidak kalah penting, karena mata memerlukan waktu istirahat untuk memulihkan diri dari stres visual yang terus menerus.
Peran pemerintah dan lembaga kesehatan juga krusial. Edukasi masyarakat melalui kampanye kesehatan mata, sosialisasi dampak paparan layar digital, dan penyediaan layanan pemeriksaan mata yang terjangkau adalah langkah penting. Sekolah dan institusi pendidikan dapat mengintegrasikan materi kesehatan mata ke kurikulum, serta menerapkan jadwal istirahat mata secara rutin selama pelajaran berbasis komputer.
Pada akhirnya, menjaga kesehatan mata di era digital bukan sekadar kewajiban individu, melainkan tanggung jawab kolektif. Ini merupakan investasi jangka panjang bagi kualitas hidup, karena mata adalah anugerah tak ternilai yang memungkinkan kita menikmati keindahan dunia. Layar digital seharusnya menjadi alat, bukan ancaman. Dengan kesadaran, disiplin, dan adaptasi yang cerdas, kita dapat memanfaatkan teknologi tanpa mengorbankan kesehatan mata.
Selain langkah mandiri, kacamata yang sesuai dapat menjadi solusi efektif. Bagi mereka yang sudah memiliki minus, plus, atau silinder, lensa yang bersih dan bebas goresan penting untuk mengurangi ketegangan mata. Bagi mereka yang belum memiliki masalah penglihatan, kacamata dengan lensa anti-radiasi atau filter cahaya biru dapat menjadi langkah preventif bijak. Lensa semacam ini dirancang untuk menyerap atau memantulkan sebagian cahaya biru, sehingga mengurangi risiko kerusakan retina. Pemilihan lensa berkualitas tinggi dan konsultasi dengan optometri atau oftalmologi penting untuk memastikan kebutuhan spesifik mata terpenuhi.
Pemeriksaan mata rutin harus menjadi kebiasaan yang tidak diabaikan. Sama seperti pemeriksaan kesehatan tubuh, mata perlu diperiksa minimal setahun sekali. Pemeriksaan ini tidak hanya mengukur ketajaman visual, tetapi juga mendeteksi potensi gangguan lain, seperti glaukoma atau katarak, terutama bagi mereka dengan riwayat keluarga. Seorang ahli mata dapat memberikan saran personal, termasuk rekomendasi tetes pelembap mata bila diperlukan, sehingga rutinitas ini menjadi langkah proaktif untuk menjaga kesehatan mata secara menyeluruh.
Naura Aqilah Rizal penulis artikel ini
(corresponding author: [email protected])

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler